(Cerpen) Pemimpin Sejati


PEMIMPIN SEJATI
Oleh : Ahmad Muzakki
            Aku ingin menjadi seorang pemimpin sejati. Keadilan, kejujuran dan kepedulian adalah prinsipku. Aku muak melihat aparat-aparat desaku yang korupsi. Badan permusyawaratan desa yang seharusnya mengawasi kinerja aparat desa, ikut-ikutan membantu mencuri dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Keluargaku yang miskin sering kali tidak kebagian bantuan beras dan dana BLT.
Dua bulan lagi aku akan menghadapi ujian nasional. Saat ini, aku tidak bingung memikirkan ujian, karena aku sudah siap menghadapinya tapi kelanjutan pendidikanku ini yang selalu aku pikirkan dan kemauan orang tuaku agar aku bertani saja. Jika aku hanya lulus SMP, bagaimana bisa aku menjadi seorang pemimpin masyarakat yang baik.
            Kemiskinan tidak menghalangiku untuk bercita-cita tinggi. Aku akan mencari solusi bagaimanapun caranya. Aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mudah-mudahan saja ada lembaga pendidikan yang mau menerimaku untuk sekolah dengan tanpa biaya.
            Ketika ujian nasional tinggal seminggu, aku dapat kabar gembira dari guru ngajiku yang selalu mengajariku dan teman-teman di desaku membaca al-Quran di surau pada tiap malam mulai maghrib sampai isya`. Dia bertanya,
            “Mahmud! Setelah lulus SMP mau melanjutkan dimana?
            “Ini yang masih aku bingungkan” Jawabku sambil memandangnya.
            “Memangnya kenapa?” dia bertanya lagi.
            “Aku tidak punya biaya, tolong bantu aku guru”  sambil ku pegang tangannya.
            “Kalau mondok di pesantren mau?”
            “Yang terpenting aku bisa melanjutkan sekolahku
            “Baiklah, nanti setelah kamu lulus, aku antar ke pesantrennya Kiai As`ad di daerah Situbondo.”
            Seminggu kemudian ujian nasionalpun tiba. Hatiku cemas, takut tidak lulus. Tapi, orang tuaku meyakinkanku,
            “Kamu kan sudah belajar keras untuk menghadapi ujian ini nak, tenang aja, insya Allah  lulus, aku dan ibumu disini akan selalu mendo`kanmu”, kata ayahku.
“Ayah dan ibu, do`akan aku, semoga aku lulus dan bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sehingga aku bisa menjadi pemimpin sejati yang bisa bermanfaat kepada masyarakat,” pintaku pada mereka
            “Doaku menyertaimu anakku sayang,” kata mereka sambil mengelus kepalaku.
            “Masalah biaya jangan terlalu di pikirkan, semua sudah ada yang menanggung asal kita mau berusaha,” aku meyakinkan mereka agar memberi izin melanjutkan pendidikanku.
            Perangpun dimulai, hari pertama aku harus menyelesaikan soal-soal matematika dengan baik. Alhamdulillah aku bisa mengerjakannya dengan lancar, begitu pula dengan hari-hari berikutnya.
            Waktu terus berlalu, pengumuman ujian yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Seluruh siswa berkumpul di aula sekolah untuk mengambil pengumuman kelulusan. Sebelum membagi-bagikan amplok putih yang berisi pengumuman, kepala sekolah berpesan kepada semua siswa yang ada di aula,
“Rayakan kelulusan secara sopan, dengan do`a bersama atau baca al-Quran. Baju-baju kalian jangan di corat-coret, kumpulkan aja nanti kepada Mahmud, biar dibagi kepada adik-adik kalian yang membutuhkan.” Ungkapnya sambil menunjukku.
            Dan ternyata lulus 100 %, semua intruksi kepala sekolah dilaksanakan oleh semuanya. Aku dan teman-teman berkumpul untuk do`a bersama dan corat-coret bajupun tidak terjadi.
            Aku pulang membawa kabar gembira kelulusanku ini kepada orang tuaku. Kemudian aku langsung menuju rumah guru ngajiku untuk membicarakan kelanjutan pendidikanku ini.
            “Gurunya ada di sawah sedang menyabit rumput”, kata istrinya yang sedang mencuci baju di sumur yang ada di samping surau tempat ngajiku.
            “Makasih ibu nyai”
            Aku langsung menuju sawahnya. Kakiku harus hati-hati berjalan di jalan setapak. Di sawah aku melihat pemandangan yang membuat hatiku tersentuh, yaitu para wanita-wanita yang ikut suaminya bekerja di sawah. Seharusnya mereka bisa hidup sejahtera, tidak melarat seperti ini. Mungkin ini adalah akibat pendidikan rendah. Kelak aku harus bisa memberdayakan para perempuan desaku ini.
            “Mahmud ! kamu mencari aku?”, guruku menyapaku.
            “Ia guru, kapan bisa berangkat ke pesantren?” tanyaku penuh semangat.
            “Besok aja ya, biar aku yang memintakan izin pada orang tuamu nanti”.
Tepat setelah isya` guruku menemui orang tuaku. Dengan memberikan penjelasan dan pengertian akhirnya orang tuaku mengizinkanku belajar di pesantren.
            “Alhamdulillah”, Aku bersyukur sambil mengangkat kedua tangan
             Aku persiapkan semua kebutuhan untuk berangkat ke pesantren, termasuk surat keterangan tidak mampu dari desa. Pengurusan surat ini ditarif dengan sejumlah uang, katanya sih administrasi.
            “Dasar koruptor gila uang,” ucapku dalam hati
            Setelah semuanya siap, guruku datang menjemputku. Aku pamit pada kedua orang tua. Ayahku memberiku uang Rp 200 ribu. Katanya hanya ini yang bisa di beri kepadaku selama aku ada di pondok. Bagiku tidak masalah, yang terpenting aku bisa  berangkat dulu ke pesantren.
            Aku dan guruku langsung menuju pesantren Salafiyah Syafi`iyah yang terletak di kabupaten Situbondo, tepatnya di dusun Sukorejo. Sampai di sana guruku langsung mendaftarkanku sebagai santri golongan tidak mampu dengan memperlihatkan keterangan dari desa. Aku pun diterima dengan tanpa harus membayar. Hanya saja, biaya hidup harus ditanggung sendiri.
            Seminggu kemudian seluruh santri baru diwajibkan mengikuti orientasi pengenalan pesantren. Materinya adalah tentang kepesantrenan, keagamaan dan kepemimpinan. Aku paling semangat ketika mengikuti materi kepemimpinan. Ada pernyataan pemateri yang paling aku ingat, bahwa pemimpin harus mempunyai keberanian serta kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual,   Pada materi ini, aku banyak bertanya dan maju ke depan ketika di suruh pemateri. Kebetulan aku ditunjuk menjadi ketua kelompok oleh panitia.
            Usai orientasi pengenalan pesantren, semua santri beraktivitas sesuai aturan pesantren. Akupun mulai masuk ke SMA Ibrahimy kelas X D. Hari pertama adalah pembentukan pengurus kelas. Aku ditunjuk oleh teman-teman untuk menjadi kebersihan. Aku langsung menyanggupinya karena bagiku pengalaman itu penting, apalagi dalam keorganisasian.
            Sebulan kemudian, uang pemberian ayahku mulai menipis. Aku harus memutar otak untuk meyambung hidupku. Aku dapat informasi bahwa di koperasi pesantren membutuhkan karyawan. Aku coba menemui kepala koperasi dan memohon kepadanya agar menerimaku sebagai karyawannya. Aku jelaskan keadaanku dan keluargaku. Akhirnya dia menerimaku dan aku bisa bekerja mulai besok. Kerjanya dua kali, pagi mulai jam 05.30 -07.00 dan malam mulai jam 19.00-22.00. Semua waktu itu adalah diluar jam sekolah.
            Alhamdulillah aku masih bisa menyambung hidup, walaupun gajinya tidak terlalu banyak, aku sudah sangat berterima kasih kepada Allah atas nikmatnya ini.  Aku bekerja sekalian niat membantu pesantren.
            Tahun kedua di pesantren, aku ikut mencalonkan diri sebagai ketua OSIM SMA Ibrahimy. Aku tidak terpilih mejadi ketua tapi menjadi bendahara. Pendukungku sedikit,  kebanyakan teman-temanku menganggapku tidak mampu karena berasal dari keluarga miskin. Akupun tenang-tenang aja.
            Beda halnya dengan teman-temanku di kamar. Malah mereka memasrahi aku untuk menjadi ketua kamar. Aku jalani aja. Tiap bulan semua ketua kamar berkumpul di aula untuk rapat dengan pengasuh. Aku tidak sia-siakan kesempatan ini.  Aku selalu maju ke depan untuk menyampaikan usulan maupun kritikan. Dari sinilah aku mulai dikenal oleh para santri dan pengurus pesantren.
            Akhirnya pada tahun ketiga, dan aku sudah kelas XII, aku ditunjuk untuk menjadi ketua panitia pelatihan leadership oleh pengurus pesantren. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Apalagi ini adalah kesenanganku. Pelatiahan ini diikuti oleh semua pengurus kelas, Badan Eksekutif Mahasiswa dan pengurus pesantren, tapi semuanya adalah putra. Untuk putri dilaksanankan secara terpisah. Pelatihan dilaksanakan selama dua hari dan secara keseluruhan acara berjalan dengan lancar. Pengasuh pesantrenpun menyampaikan pujian kepada panitia atas suksesnya acara ini.
Dua bulan lagi, aku akan menghadapi ujian nasional SMA. Oleh karena itu, aku ingin fokus dulu mempersiapkannya. Untuk sementara, aku tidak boleh terlalu sibuk di organisasi. Aku sudah izin kepada teman-teman pengurus OSIM dan menunjuk wakilku di kamar untuk sementara waktu mengurus anak kamar.
Berkat kerja keras dan kesungguhan akhirnya aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Setelah ini, aku akan kuliah di perguruan tinggi milik pesantren, Institut Agama Islam Ibrahimy di fakultas syariah jurusan ekonomi islam. Akan tetapi, ada informasi dari pesantren, bahwa keluarga miskin yang biaya pendidikannya ditanggung pesantren tidak bisa mendapatkan beasiswa kuliah kecuali setelah lulus tes. Akupun menemui seniorku yang ekonominya sama denganku dan tahun lalu dia telah berhasil lulus tes.
“Kak, apa saja materi tes yang diujikan untuk mendapatkan beasiswa?”
“Cuma tiga, bahasa arab, bahasa inggris dan seputar keagamaan”
“Aku belajar kepada kakak ya, soalnya tesnya  sudah tinggal dua minggu”
“Oke, aku siap bantu, kamu bisa ke sini setiap jam 23.00 WIB”
“Makasih kak, aku pamit dulu.
Dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Aku harus lulus tes biar bisa kuliah. Akupun tiap malam aktif belajar kepada seniorku. Aku pahami dan hafalkan semua materi yang diujikan tahun lalu. Barangkali mirip-mirip soalnya. Dan ternyata dugaanku benar. Hampir 80% soalnya sama. Alhamdulillah aku diberikan kemampuan menjawab soal dengan baik.
Waktu pengumumanpun tiba, aku langsung menuju papan pengumuman di depan kantor pesantren. Ternyata diantara beberapa nama yang ada, ada namaku, ‘Mahmud’ yang dinyatakan lulus tes. Aku langsung sujud syukur atas kesuksesanku ini.
Aku diterima di fakultas syariah jurusan ekonomi islam. Disamping ingin jadi pemimpin, aku juga ingin membantu memperbaiki ekonomi masyarakat. Karena pendiri pesantren ini berwasiat agar santrinya yang sudah pulang bermasyarakat minimal ikut andil di dalam salah satu dari tiga hal, yaitu pendidikan islam, ekonomi masyarakat dan dakwah islam.
Kesukaanku dibidang organisasi juga aku kembangkan di perguruan tinggi. Pada semester 3, atas dukungan teman-teman, aku mencalonkan diri menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Dan kali ini aku sukses meraih suara terbanyak. Akupun berhasil menjadi pemimpin tertinggi di organisasi kemahasiswaan ini.
Disinilah, aku mulai berinteraksi dengan dosen, rektor dan pengasuh untuk membicarakan program-program yang direncanakan oleh organisasi yang ku pimpin.
Masa jabatanku hanya setahun, dan beberapa bulan lagi akan berakhir. Untuk selanjutnya aku akan fokus kuliah dulu. Biar lulus dengan baik.
Setelah mengikuti semua perkuliahan dan merampungkan skripsi, akupun lulus dengan nilai sangat memuaskan. Setelah itu, aku langsung pamit kepada pengasuh untuk berhenti mondok. Aku diberi izin dan pesannya sama dengan wasiat pendiri yang telah tertanam dihatiku.
Akupun pulang ke desa, setelah 7 tahun berada di pesantren dan tidak pernah sekalipun dikunjungi orang tua ataupun kerabat. Untuk pertama, aku dekati tokoh-tokoh masyarakat dan tetangga sekitarku. Aku baca karakter mereka dan pola pikirnya.  Aku sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial di masyarakat.
Tiga tahun kemudian, aku dipercaya untuk memimpin desa ini. Aku diangkat menjadi kepala desa. Akhirnya cita-citaku memipin desa ini terwujud. Semua tindak korupsi di desa ini aku berantas. Aparat-aparat yang tidak amanah, aku beri sanksi keras. Program utamaku adalah mengentaskan kemiskinan, memberdayakan perempuan dan meningkatkat mutu pendidikan anak-anak desaku. Semoga kepemimpinanku seiring ridlo Allah.


Komentar

Posting Komentar