A.
Dalil dan pengertian Jual Beli
Sebagai
makhluk sosial, kita tidak lepas dari ketergantungan kepada sesama. Dalam
kehidupan ini, kita butuh sandang, pangan, dan papan. Untuk mendapatkan itu
semua kita perlu melakukan akad jual beli. Dulu jual beli di Indo
nesia
dilakukan secara barter, akan tetapi saat ini transaksinya dilakukan dengan
pembayaran sejumlah uang sebagai imbalan dari barang yang ingin kita miliki.
Jual
beli merupakan aktivitas yang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, akan
tetapi anak kecilpun sering melakukannya. Coba kita lihat di sekitar kita,
ketika seorang anak menangis ingin membeli kue misalnya, maka sebagian orang
tua langsung memberikan sejumlah uang kepada anaknya dan anaknya sendiri yang
melakukan transaksi. Atau yang sering kita lihat di sekolah Taman kanak-kanak
atau di sekolah Dasar. Diantara mereka ada yang diantar oleh orang tuanya dan
ada yang dibiarkan sendirian. Ketika ada di lingkungan sekolah yang di kelilingi
oleh aneka penjual makanan, maka transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil
tidak dapat di hindari. Lalu Bagaimana fiqh menaggapi persoalan ini?
Sebelum
membahas itu, penulis akan memaparkan secara sistematis pengertian, dalil
hukum, syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli.
Jual
beli telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-qur`an dan telah disabdakan oleh
Baginda Rasul di dalam hadistnya. Jual beli di jelaskan dalam surat al-Baqarah
ayat 275 yang berbunyi:
وأحل الله البيع وحرم الربا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan
di dalam hadist ke 800 di dalam kitab hadistnya Ibnu Hajar al-`Asqolani,
dituliskan tentang sabda Nabi yang berbunyi:
عَنْ
رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ
بِيَدِهِ ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
“Nabi SAW pernah ditanya tentang pekerjaan apakah yang
paling baik? Beliau menjawab “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya dan
semua jual beli yang mengandung nilai kebaikan[1]
Dalam
kitab fiqh jual beli dibahasakan dengan al-bai`u yang secara etimologi
diartikan dengan saling menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan
menurut termenologi al-bai`u diartikan dengan saling menukar harta
dengan harta yang lain sesuai aturan yang telah ditentukan.[2]
B.
Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Jual Beli
1.
Rukun-rukun jual beli ada yang mengatakan 3 dan yang lain
mengatakan 6. Tidak ada perbedaan signifikan, apakah dikatakan 3 atau 6, karena
sekalipun dikatakan 3 pada hakikatnya adalah 6 yaitu, `aqid (penjual dan
pembeli), ma`qud `alaihi (barang dan tsaman) ,dan sighot (ijab dan qobul)[3].
2.
Syarat-syarat jual beli
a.
Syarat yang berhubungan dengan Sighat
Ø Tidak ada kalimat lain dan pemisah
yang lama diantara ijab dan qobul yang memalingkan dari aqad
Ø Ada kesesuaian antara kalimat ijab
dan qobul
Ø Tidak ada ta`liq dan ta`qit
Dalam jual beli sighat diartikan “segala sesuatu yang menunjukkan
terhadap ridhonya penjual dan pembeli”. Dan terbagi menjadi dua,[4] pertama
perkataan serta yang sama kedudukannya dengan perkataan yang meliputi tulisan
dan utusan, kedua, Mu`athoth yaitu mengambil dan
memberikan sesuatu tanpa adanya perkataan baik dari penjual dan pembeli atau
salah satu keduanya.[5]
Jadi sighot itu adakalanya dengan perkataan, tulisan, perantara
orang (utusan) dan isyarat bagi orang bisu.
b.
Syarat yang berhubungan dengan penjual dan pembeli
Ø Berakal
Ø Tamyiz[6]
Ø Dewasa (Dalam Ibaraot lain dengan
kata Mutlaq al-tashorruf)
Ø Tidak dipaksa[7]
c.
Syarat yang berhubungan barang dan uangnya (Ma`qud `alaihi)
Ø Sucinya barang
Ø Bermanfaat
Ø Milik penjual dan pembeli
Ø Mampu untuk diserahkan
Ø Diketahui
Ø Barang yang dijual harus diterima
(Qobadl)[8]
C.
Legalitas Jual Beli Bagi Anak Kecil
Agar lebih mengarah, maka tulisan ini hanya ingin memfokuskan pada
pembahasan jual beli anak kecil ketika dibenturkan dengan keempat syarat yang
berhubungan dengan pejual dan pembeli. Oleh karena itu, penulis akan mengemukakan
beberapa pendapat ulama` tentang legalitas transaksi jual beli yang dilakukan
oleh anak kecil sebagai berikut.
Dari 4 syarat ini ulama` banyak berbeda pendapat diantara mereka
ada yang hanya mensyaratkan dua yang pertama dan ada yang mensyaratkan keempatnya.
Ulama` Syafiiyah mensyaratkan keempatnya, sehingga menurut mereka
jual beli anak kecil baik sudah tamyiz atau belum dianggap tidak sah, karena
belum dewasa atau tidak punya kebebasan untuk melakukan tindakan hukum.
Pendapat ini berbeda dengan kalangan Hanafiyah yang hanya
mensyaratkan dua hal yaitu berakal dan tamyiz, sehingga menurut mereka anak
kecil yang sudah tamyiz sah melakukan tasorruf dengan beberapa catatan. Dan
tasorrufnya anak kecil yang sudah berakal dan mumayyiz menurut ulama` Hanafiyah
di bagi tiga [9]:
Ø
Tasorruf-tasorruf yang hanya mendatangkan manfaat
Seperti Mencari
kayu, rumput , berburu, menerima sodaqah, hadiyah dan wasiat. Tasorruf
dalam hal ini sah untuk dilakukan anak
kecil tanpa harus mendapat izin dan restu dari orang tua
Ø
Tasorruf-tasorruf yang hanya mendatangkan mudlorot
Seperti talaq,
memberi hadiah, sadaqah dan hutang. Tasorruf dalam hal ini tidak sah untuk
dilakukan anak kecil sekalipun mendapat izin dan restu dari orang tua. Karena
orang tua tidak punya hak untuk merestui anaknya di dalam hal ini, karena
adanya kemudlorotan.
Ø
Tasorruf-tasorruf yang mendatangkan manfaat dan mudlorot
Seperti Jual
beli, muzaro`ah, musaqah dan syirkah. Tasorruf dalam hal ini sah untuk dilakukan anak kecil
apabila mendapat izin dan restu dari orang tua.
Dari paparan yang disampaikan Ulama` Hanafiyah, dapat dipahami
bahwa mereka memberikan legalitas terhadap
jual beli yang dilakukan anak kecil dengan catatan harus memporeloh izin dan
restu dari walinya.
Pendapat Hanafiyah ini senada dengan pendapat Imam Taqiyuddin Abi
Bakar Bin Muhammad al-Husaini, pengarang kitab Kifayatul Akhyar dalam sisi
kebolehan jual beli anak kecil dan berbeda di dalam sisi alasan yang digunakan.
Menurut Beliau mengutus anak kecil untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya sudah
menjadi`Umumul Balwa dan telah mentradisi di seluruh Negara dan hal ini
membawa kapada dhorurat. Oleh karena itu, menurut beliau seyogiyahnya persoalan
ini di ilhaqkan dengan
mu`athot apabila telah menjadi tradisi dengan mempertiimbangkan adanya saling
rela dalam transaksi tersebut. Dan
menurut beliau, pada masa Kholifah Umar Bin Khottob Maghibat pernah mengutus
gadis-gadis dan anak-anak kecil untuk membeli kebutuhannya dan beliau tidak
mengingkarinya, begitu pula pada masa ulama` salaf dan kholaf.[10]
Sampai sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum jual beli bagi
anak kecil terbagi menjadi dua pendapat :
1.
Sah dengan mengikuti pendapat ulama` Hanafiyah dan Imam Taqiyuddin
Abi Bakar Bin Muhammad al-Husaini.
2.
Tidak sah dengan mengikuti pendapat Ulama` Syafiiyah
Menanggapi
persoalan di atas, sepertinya pendapat yang lebih cocok untuk saat ini adalah
pendapat yang pertama. Karena hal ini telah menjadi kebiasaan yang sulit untuk
dihindari. Akan tetapi dengan catatan
adanya jaminan bahwa anak kecil yang melakukan transaksi jual beli itu dapat
terhindar dari penipuan. Wallahu
a`lam. ( Zky)
By : Ahmad Muzakki, Santri Ma`had Aly Sukorejo Situbondo
[1] Bulughul
Maram, hal 158
[2] Fathul Mu`in, al-Hidayah,
Hal 66
[3] Fathul Wahab ,
al-Hidayah, Hal 157 Juz 1
[4] Fiqh Madzahib
al-Arba`ah, Darul Kutub al-Ilmiyah, Hal 452
[5] I`anah al-Tolibin,
, al- Hidayah, Hal 4 juz 3
[6] Fiqh Sunnah, Darul
Hadist, Hal 899
[7] Fiqh Madzahib
al-Arba`ah, Darul Kutub al-Ilmiyah, Hal 455,
[8] Fiqh Sunnah, Darul
Hadist ,Hal 899-900
[9] Fiqh al-Islami
Wa Adillatuhu,Juz 5 , Hal 13-14, Maktabah Syamilah

Komentar
Posting Komentar